WISATA | 09 NOV 2023

Menelusuri Jejak Keraton Surabaya yang Kini Nyaris Hilang Dimakan Usia

Kota Surabaya merupakan ibu kota provinsi Jawa Timur sekaligus kota terbesar kedua di Indonesia, setelah Jakarta. Surabaya adalah sebuah tempat yang memancarkan daya tarik khususnya bagi mereka yang ingin menjelajahi keragaman budaya, sejarah, dan potensi ekonomi yang luar biasa. Tak banyak yang tahu, bahwa di masa lalu Surabaya pernah memiliki keraton.


Keberadaan keraton Surabaya memang tidak pernah dibahas secara detail di pelajaran sejarah. Baik peninggalan monumen maupun literatur sejarah yang terpercaya pun tidak ditemukan. Bangunan fisiknya pun tidak terlihat dan mungkin sudah beralih fungsi menjadi bangunan lain. Kendati demikian, masih terdapat jejak-jejak keraton di Surabaya walaupun hampir terlupakan.


Surabaya menorehkan sejarah panjang dimulai dari rencana penyerangan bangsa Mongol yang digagalkan kerajaan Majapahit, kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, masa kolonialisme hingga masa perjuangan mempertahan kemerdekaan. Berbekal beberapa sumber yang ada, CakMin akan mencoba menilik kembali keberadaan Keraton Surabaya. Disimak yo Rek!


Menurut Nanang Purwono, seorang penggiat sejarah Begandring Soerabaia, kepada detikJatim, menyatakan beberapa jalan dan kampung di Surabaya masih berkaitan dengan Adipati Keraton Surabaya.

Sejarah Singkat Keraton Surabaya

Menurut Nanang, Keraton Surabaya tidak bisa lepas dari pertempuran Raden Wijaya yang kala itu memukul mundur pasukan Tar-Tar dari Mongol pada 1293. Nama Hujung Galuh akhirnya berganti nama menjadi Curabhaya, dengan sistem pemerintahan keraton atau kerajaan. Nama Curabhaya sendiri mempunyai arti keberanian menghadapi bahaya. 


Selama berabad-abad dibawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Surabaya pun menjadi sebuah sentra perdagangan dan pelayaran. Terletak strategis dekat laut dengan pusat kota yang berada di tepi sungai, membuat daerah yang kala itu dipimpin oleh Pangeran Jayalengkara menjadi incaran kerajaan Mataram.


Sumber: Oke News


Serangkaian penaklukan dilakukan oleh Kerajaan Mataram pada rentang tahun 1620 hingga 1625, namun selalu gagal. Pasalnya, Keraton Surabaya dikelilingi oleh tembok setinggi empat meter sehingga musuh selalu kesulitan untuk ditaklukan. Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung kala itu, mempunyai langkah strategis. Yaitu dengan menyerah para sekutu Keraton Surabaya, seperti menyerang daerah Sukadana (Kalimantan Selatan) dan Pulau Madura.


Langkah lain pun dilakukan dengan cara membendung Kali Mas, yang merupakan pusat moda transportasi serta sumber utama kehidupan masyarakat Keraton Surabaya. Pasukan Mataram menenggelamkan ratusan pohon kelapa yang ditopang dengan bambu-bambu, kemudian tiap pohon kelapa diberi bangkai binatang. Krisis pangan dan air bersih terjadi dimana-mana. Alhasil, banyak masyarakat yang meninggal karena kelaparan dan terserang wabah penyakit.


Melihat kondisi tersebut, Adipati Jayalengkara menjadi tidak tega terhadap penderitaan rakyatnya. Akhirnya Adipati Jayalengkara menemui Tumenggung Mangunoneng, seorang Panglima Mataram, untuk meminta agar bendungan tersebut dibongkar. Serta, Keraton Surabaya mengakui kekalahannya di hadapan Kerajaan Mataram.


Tepat pada 1625, Kerajaan Surabaya dibawah kepemimpinan Pangeran Pekik dan Adipati Jayalengkara, akhirnya menyerah kepada Kerajaan Mataram. Hal ini terjadi setelah serangkaian strategi penaklukan yang dilakukan oleh Sultan Agung sukses besar. Meskipun Keraton Surabaya sudah dikuasai, Sultan Agung tetap mengizinkan Adipati untuk tinggal dan memimpin Surabaya di bawah kekuasaan Mataram.

Campur Tangan VOC

Surabaya sudah tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Mataram. Namun, waktu itu terjadi perebutan kekuasaan di tubuh Mataram. Raja Kasunanan Surakarta pertama, Pakubuwono II menjalin kerja sama dengan VOC untuk membantunya naik takhta kembali setelah mengalahkan pesaingnya, Amangkurat V. Akhirnya, Pakubuwono II menghibahkan pantai utara Jawa dan Madura, termasuk Surabaya,  kepada Gubernur Jenderal VOC “Baron van Imhoff".


Begitu VOC dan pihak kolonial Belanda masuk dan menguasai Surabaya, perlahan Keraton Surabaya pun mulai runtuh. Pusat pemerintahan yang semula merupakan keraton pun diganti. Keraton Surabaya pun dibabat habis oleh kolonial Belanda.

Kampung Keraton

Sumber: Surabaya.go.id


Terdapat sebuah kampung yang terletak di antara Jalan Keramat Gantung dan Jalan Pahlawan. Konon katanya, kawasan ini merupakan titik lokasi berdirinya Keraton Surabaya atau yang lebih sering disebut sebagai Kampung Keraton.


Saat ini, yang tersisa hanyalah berupa nama jalan dan gapura. Sisa-sisa tembok keraton kini berubah menjadi gapura pintu masuk Kampung Keraton. Terdapat juga sejumlah nama wilayah di Surabaya yang masih ada hubungannya dengan keraton.


Terdapat satu-satunya bangunan peninggalan fisik Keraton Surabaya yang masih tersisa yang berada di ujung gang Kampung Keraton. Bangunan ini diyakini sebagai gerbang Keraton Surabaya. Akan tetapi, sebagian orang juga percaya jika gapura setinggi kurang lebih empat meter tersebut hanya digunakan sebagai tempat pengintaian, dan juga hanya bagian kecil dari gerbang selatan Keraton Surabaya.


Melansir sumber dari Surabaya.go.id, menurut sejarawan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Aminuddin Kasdi, Kampung Keraton disinyalir sebagai tempat tinggal para raja. Begitu pula nama jalan yang berada tak jauh dari Kampung Keraton, diantaranya; Pandean atau tempat para pandai besi. Kemudian, Kawatan yang merupakan pusat pengrajin kawat.


Kawasan Kebonrojo diperkirakan sebagai Taman Keraton, sedangkan pelataran Tugu Pahlawan digunakan sebagai Alun-alun Utara dan Alun-alun Contong (Baliwerti-Bubutan) merupakan Alun-alun bagian selatan. Saat ini, area Alun-alun Selatan tersebut sudah beralih fungsi menjadi Jl. Pahlawan dan Alun-alun Utara kini merupakan Masjid Kemayoran.


Berdasarkan Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe, karya Dukut Imam Widodo, Keraton Surabaya menggunakan sungai sebagai sarana lalu lintas utama untuk urusan kenegaraan dan perdagangan. Sungai Kalimas di kawasan Plampitan dan Genteng sudah digunakan hilir mudik sebagai sarana transportasi utama. 


Sumber: Kompasiana


Kampung lainnya seperti Kampung Kranggan, Kampung Ketandan, dan Kampung juga mempunyai filosofi tersendiri. Seperti Kampung Praban, berasal dari kata Prabu atau raja. Kemungkinan dahulu wilayah ini adalah tempat tinggal para raja atau adipati Surabaya masa itu. Kemudian Kampung Kranggan, dipercaya sebagai tempat tinggal para Empu atau pembuat keris dengan sebutan Rangga. Begitu pula Kampung Ketandan, adalah kompleks pemukiman para Keraton Surabaya kala itu. Kampung Kauman yang disebut pernah menjadi hunian bagi para kaum muslim yang kini letaknya berada di belakang Masjid Kemayoran.


Mengutip situs Tourism Surabaya, ada sederet situs peninggalan Keraton Surabaya yang masih tersisa. Berikut uraian yang CakMin rangkum:


  1. Situs Keraton (Kampung Keraton)

  2. Fasilitas umum (pemerintahan) dan ekonomi: Kepatihan dan Pasar Besar

  3. Kebon Raja

  4. Tempat Ibadah (Masjid Takmiriah)

  5. Alun-alun: Taman Tugu Pahlawan

  6. Alun-alun Kidul (Alun-alun Contong)

  7. Puri (Lawang Seketheng)

  8. Perkampungan petugas keamanan (Tambakbaya)

  9. Tempat pembantaian (pejagalan)

  10. Tempat para tumenggung (Pejabat Kadipaten: Ketumenggungan)

  11. Bandaran Surabaya: Sukodono


Semoga hasil penelusuran CakMin, bisa memberi Kamu wawasan yang cukup. Ingat semboyan Jasmerah,” Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Surabaya bisa menjadi kota metropolitan seperti sekarang, berkat perjalanan panjang para pendahulu kita. Beberapa situs peninggalan Keraton Surabaya tersebut, tetap bisa Kamu kunjungi. Dan jangan lupa membeli oleh-oleh yo Rek, setelah lelah mengelilingi situs bersejarah Keraton Surabaya. Lapis Kukus Pahlawan adalah rekomendasi terbaik CakMin. Camilan lezat ini sangat mudah dibeli baik secara online atau dengan mengunjungi outlet secara langsung.