Artikel
Ludruk, Kesenian Guyonan Suroboyoan yang Melekat di Hati
Guyonan Suroboyoan - Ludruk merupakan salah satu kesenian guyonan Suroboyoan yang berasal dari kalangan rakyat jelata. Meskipun hingga saat ini ludruk masih kerap dipentaskan, namun tidak banyak yang memainkan peran di dalamnya. Ludruk tumbuh dari ekspresi rakyat kebanyakan di mana biasanya, kesenian guyonan Suroboyoan ini selalu mengangkat cerita dari permasalahan keseharian dan dipentaskan dengan bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat kalangan bawah. Inilah yang menjadi awal mula ludruk dinilai sebagai teater rakyat.
Dalam pertunjukan ludruk biasanya terdapat unsur tari remo, dagelan, selingan, dan cerita (lakon). James L. Peacock dalam Ritus Modernisasi: Aspek Sosial & Simbolik Teater Rakyat Indonesia, menulis bahwa isi dari tarian remo, dagelan, selingan, dan cerita bervariasi dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain, serta isi dan elemen-elemen lain bervariasi secara hampir bebas dari isi dari elemen-elemen lain.
Tak ada pakem yang pasti terhadap pertunjukan ludruk, seperti jumlah pemain dan jumlah babak. Para pemain ludruk dituntut berimprovisasi dan mengembangkan jalan cerita yang sudah dibuat terlebih dahulu.
Asal Mula Lahirnya Ludruk di Indonesia
Ludruk mulai dikenal pada abad ke-12 dengan nama sebelumnya yaitu Ludruk Bandhan. Ludruk Bandhan ini mempertunjukkan sejenis pameran kekuatan dan kekebalan yang bersifat magis dengan menitikberatkan pada kekuatan batin. Ludruk Bandhan biasanya tampil di tanah lapang dengan diiringi alat musik seperti kendang dan jidor.
Hingga waktunya, Ludruk Bandhan berkembang menjadi Lerok Pak Santik selama abad ke-17 sampai 18. Lerok berasal dari kata “lira”, yaitu alat musik petik seperti kecapi. Alat ini digunakan selama pertunjukan. Salah satu tokoh yang berperan dalam memperbaharui kesenian ludruk yaitu Pak Santik, seorang petani dari Jombang, Jawa Timur. Selama pertunjukan, beliau memakai riasan muka dan ikat kepala. Dadanya dibiarkan tanpa kain penutup dengan celana yang sedikit menjuntai hingga atas mata kaki dan berwarna hitam. Tidak lupa juga, Pak Santik menyampirkan selendang yang disebut sampur.
Dalam pertunjukan, Pak Santik menari (ngremo) sembari berbicara sendiri mengungkapkan isi hatinya (kidungan). Dia mahir memakai mulut untuk menyuarakan bebunyian yang menyerupai alat musik. Kakinya seringkali menghentak-hentak tanah lapang sehingga menimbulkan bunyi gedrak-gedruk. Dari sinilah kemungkinan asal kata ludruk.
Kejayan Ludruk dan Kenangannya yang Tak Pernah Pudar
http://surabaya.bisnis.com
Hingga berjalannya waktu, ludruk kemudian identik dengan guyonan. Awalnya lebih banyak memainkan dagelan slapstick (lawak kasar fisik). Namun, setelah muncul ludruk Cak Gondo Durasim pada 1920-an, banyak perubahan dalam konsep dagelan. Ludruk lebih cenderung ke lawak halus, dengan permainan kata-kata dan sindiran sosial-politik.
Kesenian guyonan Suroboyoan ini sempat mengalami puncak gemilang di awal Orde Baru di mana sejumlah seniman ludruk muncul ke permukaan dan meraih popularitas. Salah satunya Kartolo Cs, yang bukan hanya sukses dalam setiap pertunjukan namun berbagai kaset rekamannya pun sangat diterima baik oleh masyarakat. Hingga saat ini ludruk bisa bertahan karena lakon-lakon yang dipentaskan sangat aktual dan akrab dengan budaya setempat. Tentu saja disampaikan dengan bahasa yang komunikatif dan disertai lawakan yang selalu menghibur.
Nah biar menikmati kesenian ludruknya makin seru, jangan lupa ditemani oleh Lapis Kukus Pahlawan nan lezat. Camilan legendaris ini sudah menjadi salah satu kudapan wajib warga Surabaya di segala tempat. Selain teksturnya yang lembut, pilihan rasanya yang beraneka ragam pun bisa kamu pilih sesuai selera.
Penasaran ingin mencoba sekotak Lapis Kukus Pahlawan ini? Kamu bisa mendapatkannya di sini!